Khairul Ocu Silan, Menantang Konflik Bersenjata Lewat Kamera

Tujuh tahun sudah pengabdian Khairul di lingkungan Pemerintah Kota Pekanbaru. Pada bulan Agustus depan, Khairul resmi memasuki masa purna bakti. Bekerja di pelbagai jabatan struktural membuatnya kian terasah. Terakhir, Khairul menjabat sebagai Kasi Kemitraan, Informasi dan Komunikasi Kominfo, Statistik dan Persandian Pekanbaru. Ia adalah seorang Jurnalis. Sepak terjang di bidang jurnalistik tak diragukan lagi. Ia begitu disegani oleh kawan maupun lawannya. "Menjadi wartawan di daerah rawan konflik dan bencana menjadi kenangan tersendiri", ujar Khairul, membuka cerita dengan resonansi.co, Selasa (12/7/2022).

Sebelum duduk sebagai pejabat pemerintahan Kota Pekanbaru, Khairul mengawalil karir Aparatur Sipil Negara (ASN) di Departemen Penerangan sebagai kameramen TVRI Banda Aceh. Lebih dari 25 tahun, Khairul menjalani profesi sebagai pemanggul kamera. ”Awal bertugas langsung menjadi cameramen, karena awam dengan kamera saya merasa tertantang untuk bisa,” cerita Khairul yang mengasah kemampuan Kameramen dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan yang diselenggarakan TVRI.

Selama menjadi cameramen, Khairul memiliki beragam pengalaman menarik yang sulit untuk dilupakan. Di antaranya tiga tahun melakukan peliputan di daerah rawan konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Di sejumlah daerah rawan di Aceh, dia berusaha betul menjaga komunikasi yang baik dengan pihak GAM. Karena jika salah sedikit, pemancar TVRI taruhannya. “Saat itu saya berusaha mengamankan 33 unit pemancar TVRI yang ada di seluruh Aceh. Pihak GAM mengancam akan membakar pemancar TVRI jika kami tidak bersedia meliput berbagai kegiatannya. Supaya aman, setiap ada undangan dari pihak GAM saya diam-diam datang tanpa sepengetahuan TNI/Polri. Begitu juga sebaliknya kalau sedang bersama TNI/Polri terpaksa bersembunyi supaya tidak diketahui pihak GAM,” kenang Khairul.

Malang melintang di daerah konflik untuk berburu gambar yang bagus, terkadang membuat Khairul mengabaikan keselamatan jiwanya sendiri. Baginya saat itu kamera jauh berharga dibandingkan dirinya. Desingan suara peluru dan menemukan mayat bersimbah darah sudah menjadi hal biasa dalam keseharian. “Pernah saat mengambil gambar mayat warga sipil korban konflik GAM, mendadak ada yang menembakkan senjata kearah saya. Alhamdulillah, pelurunya melayang satu jengkal di atas kepala saya,” tutur Khairul yang sampai saat ini tidak mengetahui siapa yang berniat membunuhnya.

Tidak hanya itu, ketika berjalan sendiri menuju warung, Khairul juga pernah dipukuli oleh orang yang tak dikenal. Bahkan nyaris mau diseret ke atas bukit untuk dihabisi jika ia tidak memberitahu sebagai jurnalis dari TVRI. “Kalau kena pukul dan nyaris dibunuh waktu liputan konflik GAM sudah sering. Bahkan perlakuan kasar dan pemukulan juga datang dari TNI yang tidak terima gambarnya diambil ketika baris-berbaris,” tutur Khairul yang menjadi salah satu cameramen andalan TVRI.

Bekerja di daerah konflik dalam waktu yang lama sekali tidak membuat ciut nyali Khairul, sebaliknya malah semakin tertantang. Jika banyak kawannya yang menolak ditugaskan di daerah konflik, Khairul justru bersemangat. Bergaul dengan petinggi GAM yang bagi sebagian orang menyeramkan, tapi baginya adalah hal menantang. “Naluri untuk menyajikan berita dan gambar terbaru untuk semua kejadian membuat saya bersemangat. Ditambah lagi beritanya memang ditunggu pemirsa seluruh Indonesia,” ujar Khairul.

Pernah juga Khairul nyaris jatuh dari helikopter di wilayah Aceh Singkil ketika melakukan pemantauan bersama Danrem Teuku Umar, Kolonel CZI Syarifudin Tipe. Saat itu tiba- tiba helikopter yang ditumpangi mengalami hampa udara dan menabrak awan tebal, yang menyebabkan baling-baling helikopter tergores. 

Menurut teori, jika baling-baling sudah tergores harus secepatnya melakukan pendaratan. Akhirnya sang pilot yang waktu itu membawa tujuh orang rombongan melakukan pendaratan berada satu kilometer dari wilayah latihan tentara GAM. Walaupun selamat turun dari helikopter namun rombongan khawatir diserang pihak GAM.” Waktu selamat turun dari helikopter kami langsung diserbu masyarakat saat beristirahat di pondok, karena mereka mengira heli yang kami tumpangi jatuh,” papar Khairul yang mengaku cukup trauma naik helikopter.

Momen besar lainnya selama menjadi cameramen yang selalu direkam memorinya adalah liputan tsunami Aceh tahun 2004. Khairul mengaku menyaksikan langsung naiknya air laut ke darat. Sebelum kejadian tsunami, Khairul sudah berjanji dengan temannya untuk pergi memancing ke laut pada hari minggu tanggal 26 Desember 2004. Tetapi karena ada tugas liputan Marathon 10-K, rencana tersebut dibatalkan. Hikmahnya, Khairul selamat dari bencana tsunami. “Saat peristiwa tsunami itu saya dan kawan langsung naik mobil dan berhenti di jembatan yang letaknya tinggi. Karena kamera ada di tangan, saya bisa memperoleh gambar tsunami yang banyak,” terang Khairul.

Selamat dari musibah besar itu juga membuat Khairul sangat bersyukur atas kehidupan yang diperolehnya. “Saya ingat betul banyak harta benda dan orang hanyut dibawa tsunami,” ujar ayah tiga anak ini. Masa itu Khairul merupakan satu-satunya cameramen TVRI yang sukses mendapatkan gambar terbaik dari tsunami. Bahkan hasil gambar yang diperolehnya tentang tsunami juga mendapat juara I di ajang internasional tingkat Asia Pasifik di Vietnam yang digelar oleh Asia Pacific Broadcast Union (ABU).

Di lain sisi, sukses sebagai cameramen TVRI yang hasil kerjanya ditonton oleh banyak pasang mata di Indonesia bahkan mungkin dunia ternyata tidak membuat bangga sang ayah yang tinggal di Desa Empat Balai, Kecamatan Kuok, Kabupaten Kampar. Dia merasa malu karena tiap hari selalu ada berita yang menyebutkan laporan dari Khairul Ocu Silan. Sebab hal ini menjadi ejekan dari warga kampung yang nonton siaran berita. “Di kampung, dulu kalau mau nonton hanya ada satu televisi di balai. Saat nonton bersama, para tetangga protes berita atas nama Khairul Ocu Silan selalu ada. Sampai ada yang menyebut TVRI itu sudah seperti punya saya. Ini membuat malu ayah karena tidak tahan dengan ejekan tetangga,” kata Khairul yang akhirnya berusaha meyakinkan sang ayah tentang hasil kerjanya.

Lebih jauh karena sudah merasa jenuh sebagai PNS di TVRI dengan jenjang karir yang kurang jelas, tahun 2015 Khairul mencoba pindah ke pemerintah Kota Pekanbaru. Dengan usia yang tidak muda lagi, Khairul mengaku sudah tidak kuat lagi untuk memanggul kamera. ”Alhamdulillah, saya diterima di Pemko Pekanbaru. Semua keluarga juga mendukung pilihan saya ini,” ujar Khairul yang sangat familiar di kalangan para jurnalis.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai salah seorang pejabat struktural di lingkungan Dinas Kominfo Pekanbaru, Khairul tidak segan untuk bertanya kepada siapa saja, termasuk bawahannya. Hal ini juga yang mempercepat proses adaptasi dari ASN Jurnalis ke ASN struktural. ”Yang penting jangan malu belajar dengan siapa saja, pasti kita bisa menjalankan tugas dengan baik,” pungkasnya. Reza

Editor : Herdi Pasai

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai*