Menjemput Rezeki di Muara : Khairudin, Nelayan Kepiting Bakau yang Hidupi Tiga Anak dari Jerih Payah Alam

Natuna, resonansi.co — Saat fajar baru merekah di ufuk timur, Khairudin (36) sudah berdiri di tepi muara Desa Batu Gajah, Kecamatan Bunguran Timur. Dengan pakaian lusuh yang sudah akrab dengan lumpur, ia perlahan menurunkan bubu ke air yang tenang namun pekat. Di sinilah, di antara akar-akar bakau dan lumpur hitam, ia menjemput rezeki setiap hari mencari kepiting bakau, sebagai sumber penghidupannya selama lebih dari belasan tahun.

Ia tidak melaut jauh seperti kebanyakan nelayan lain, karena hidupnya bergantung pada muara, tempat di mana air laut dan sungai bertemu. Namun di balik ketenangan muara, tersimpan banyak risiko yang mengintai.

“Kadang di sini ada biawak besar, ular, bahkan buaya yang muncul. Kalau salah langkah, bisa bahaya,” katanya sambil menunjuk tembat biasanya menjadi tongkrongan hewan melata tersebut.

Meski bahaya selalu mengintai, Khairudin tetap setia dengan pekerjaannya. Ia sudah terbiasa berhadapan dengan lumpur sedalam lutut, nyamuk rawa yang menggigit, dan aroma amis dari akar bakau. Semua itu ia jalani tanpa keluh, karena dari sinilah keluarganya bisa bertahan hidup.

“Kalau di muara ini, kepiting suka bersembunyi di akar bakau. Kadang mudah didapat, tapi kadang susah juga. Tergantung pasang surut air,” ujar Khairudin sambil tersenyum, wajahnya berkilat oleh keringat pagi.

Bagi warga sekitar, Khairudin dikenal sebagai nelayan tangguh. Setiap hari ia hanya berputar di kawasan muara yang menjadi urat nadi kehidupan desa. Dengan perahu kecil dan peralatan sederhana, ia menantang cuaca dan waktu demi membawa pulang hasil tangkapan untuk menghidupi istri dan tiga anaknya yang kini masih bersekolah. 

“Kalau sedang mujur, bisa dapat 5 kilo hingga lebih kepiting sehari. Tapi kalau kondisi pasang surut air tidak stabil, hasilnya sedikit. Kadang malah kosong,” ujarnya sambil mengangkat bubu yang hanya berisi seekor kepiting berukuran sedang.

Hasil tangkapan itu ia jual ke pengepul di pusat kota Ranai yang menjadi langganannya semasa ia bekerja. Harga kepiting bakau di Natuna cukup fluktuatif, bisa naik-turun tergantung musim. Namun bagi Khairudin, yang penting bisa membawa pulang rezeki dan menanggung kehidupannya sehari-hari. 

“Yang penting anak-anak bisa sekolah. Saya nggak ingin mereka nanti harus cari kepiting seperti bapaknya. Cukup saya saja,” ucapnya lirih, matanya menatap aliran muara yang perlahan bergerak menuju laut.

Meski hidup sederhana, Khairudin tidak pernah mengeluh. Ia menganggap muara tempatnya bekerja bukan hanya sumber rezeki, tapi juga bagian dari kehidupannya yang penuh pelajaran. “Di sini saya belajar sabar. Air pasang-surut itu seperti hidup. Kadang tinggi, kadang rendah, tapi tetap harus dijalani,” tuturnya.

Sore hari, saat matahari mulai turun, Khairudin menepikan perahunya, membawa hasil tangkapan seadanya. Di rumah, anak-anaknya sudah menunggu di teras, menyambut ayah mereka dengan tawa polos. Itulah momen paling berharga baginya, pulang dengan peluh, tapi juga dengan kebahagiaan sederhana.

Khairudin berharap ke depan pemerintah bisa memperhatikan nasib nelayan kecil di muara, terutama mereka yang mengandalkan peralatan tradisional. “Kalau ada bantuan bubu atau perahu kecil, tentu sangat membantu. Kami tak banyak minta, cuma ingin tetap bisa bekerja dengan layak,” katanya penuh harap.

Dari tepian muara yang sunyi, kisah Khairudin menggambarkan keteguhan dan kesederhanaan hidup seorang ayah yang tak pernah menyerah. Ia bukan pahlawan di medan perang, tapi setiap hari ia berjuang melawan arus dan lumpur demi memastikan tiga anaknya punya masa depan yang lebih cerah. (Zaki

Editor : Reza MF



Bagikan