Perjuangkan Hak Kepemilikan Lahan, Ini Kisah Hendra Cari Keadilan Hukum Selama 20 Tahun

BANGKINANG KOTA- Hendra alias Acuan berusia 70 tahun menuntut keadilan di Kota Bangkinang. Pasalnya memasuki usia senja, Ia masih berjuang untuk memerdekakan lahan seluas 10 hektar miliknya. Acuan secara khusus langsung datang dari Kota Perdagangan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

"Saya berharap keadilan yang dicari selama 20 tahun ini bisa ditemui melalui putusan mahkamah," ujarnya kepada resonansi.co di Pengadilan Negeri Bangkinang, Kamis (28/8/2025).

kasus ini bermula pada pada tahun 1989 Hendra alias Acuan datang ke Desa Petapahan untuk mencari nafkah menerima upahan membuka lahan untuk dijadikan perkebunan dari pemilik lahan. 

Tahun 1989 Hendra dikenalkan oleh temannya dengan Sofyan. Lalu ia bersepakat kerjasama berkebun sawit di atas lahan seluas 10 hektare di Jalan Raya Petapahan, KM 62, RT 033/RW 007 Dusun III Desa Petapahan. Saat itu lahan tersebut masih berada di wilayah Dusun Suka Mulia, Desa Rimba Beringin. 

Dalam perkembangannya, lahan yang ditanam kelapa sawit selalu diserang hama dan pada tahun 1993 Sofyan berubah pikiran ingin menjual lahan tersebut karena besarnya investasi di lahan tersebut dan selalu mengalami kendala karena diganggu hama. 

Pada tahun 1994 Hendra dan Sofyan bersepakat bahwa lahan itu dibeli Hendra dari Sofyan. Setelah ia melunasi sisa pembayaran, pada tahun 1995 ia mengurus surat kepemilikan lahan yang dikeluarkan Kepala Desa Rimba Beringin Djunaedi. 

Tahun 1995-1999 ia masih mengelola lahan tersebut dan mendirikan gubuk di situ. Karena pekerjaan membuka lahan sudah berkurang, maka ia percayakan pengelolaan lahan kepada Rahman sampai sawit bisa dipanen. Karena ia sudah jarang di sana dan sering bolak balik ke Perdagangan, Provinsi Sumatera Utara karena abangnya mengalami sakit parah, gubuk itu ia izinkan untuk ditempati seorang janda yang sudah lupa dia namanya. 

Hingga tahun 2000 ia masih sibuk mengurus abangnya yang sakit ke Penang. Saat itu ia mulai dapat kabar bahwa penduduk setempat memanen sawitnya tanpa sepengetahuan dirinya. 

Selanjutnya ia mendengar kabar ada oknum yang mengatakan bahwa ia sudah memberikan kewenangan pada orang lain untuk memanen sawitnya dengan alasan dirinya telah menerima uang dari dia sampai akhirnya Mariaman, orang yang kemudian dipercayakan mengelola dan menjaga kebunnya mendapat kabar bahwa Hendra sudah meninggal dunia. 

Kemudian tahun 2003 Hendra mendengar kabar bahwa Giman (yang kini sudah Almarhum) menguasai lahan tersebut. Giman mengatakan sudah membeli lahan itu dari Hendra. Kabar tersebut juga sampai ke Hendra dari Nora, istri Mariaman yang sengaja datang ke Perdagangan. Hendra lalu datang ke lokasi dan menemui kepala desa dan ia mendapatkan informasi bahwa Giman telah mendapat izin dengan surat kuasa dari dirinya untuk menjual lahan itu kepada Afrizon B Tanjung alias Buyung. 

Atas tindakannya itu, Giman yang sempat meminta ganti rugi lahan seluas 6 ha tersebut sejumlah Rp 250 juta dilaporkan ke Polres Kampar tahun 2005. Giman membuat surat kuasa palsu dan memalsukan tandatangan Hendra. Meskipun sempat mendekam di sel tahanan, namun kesepakatan damai tercapai. Namun Giman dan Afrizon B Tanjung tidak melaksanakan perjanjian tertulis yang telah disepakati. Bahkan Afrizon menebang sawit di lahan tersebut. 

Ia lalu melaporkan ke Polres Kampar, namun ia sampai sekarang tidak tahu laporan tersebut tidak diproses Polres Kampar. 

Dalam kondisi tersebut, Giman dan Afrizon meningkatkan status kepemilikan lahan dari surat keterangan ganti rugi (SKGR) ke sertipikat hak milik ke Badan Pertanahan Negara (BPN). Perjuangan Hendra terus berlanjut. Tanggal 16 Mei 2007 ia menyampaikan surat bantahan atas kepemilikan tanah tersebut. 

Setelah itu Afirzon B Tanjung meminta tolong kepada adiknya Acok ingin berdamai, namun Hendra menolak. 

Karena ketidakberayaannya dan tidak punya penghasilan dan harus terus merawat abangnya proses ini berlarut dan tidak dapat diselesaikan Hendra. Apalagi ia harus mengeluarkan biaya bolak balik dari Perdagangan-Petapahan. 

“Saya berharap tegaknya keadilan untuk saya. Belum pernah saya jual tanah itu ke siapapun dan jangan ada yang ngaku ada yang membeli,” ujar Hendra.

Sementara itu Kuasa Hukum Hendra, Noviandi Akbar, SH mengatakan bahwa persoalan ini sudah mengalami mediasi sebanyak tiga kali dengan memanggil tergugat I, II, III dan IV. Akan tetapi mediasi ini tidak mencapai titik temu atau mengalami jalan buntu.

Ia menerangkan bahwa pada mediasi pertama pada hari Kamis 7 Agustus 2025 lalu yang datang hanya tergugat I,II. Dalam hal ini Afrizon B Tanjung sebagai tergugat I dan W Yuska, Kepala Dusun III, Desa Petapahan sebagai tergugat II.

Dua minggu kemudian pada tanggal 21 Agustus 2025 diundang lagi oleh PN Bangkinang untuk mediasi, namun semua tergugat tidak datang termasuk Kepala Desa Petapahan sebagai tergugat III dan Kantor Camat Tapung sebagai tergugat IV.

Kemudian hari ini, Kamis (28/8/2025) PN Bangkinang kembali menjadwalkan untuk mediasi. Akan tetapi para tergugat juga tidak hadir.

Ia menyebut bahwa agenda berikutnya menunggu panggilan dari Pengadilan Negeri Bangkinang melalui e-court.

"Proses mediasi ini tidak bisa terlalau banyak bicara. Artinya bahwa para pihak dalam mediasi ini bisa disatukan sesuai dengan peraturan Mahkamah Agung," pungkasnya. REZA

Editor : Nurdin Tambunan
Tag : # Kampar



Bagikan