Memeluk Sang Raksasa: Inovasi Agroforestri dan GPS Collar Menyelamatkan Gajah Sumatra

PEKANBARU – Di jantung Pulau Sumatra, di mana garis batas antara hutan dan pemukiman semakin tipis, konflik antara Gajah Sumatra dan manusia telah menjadi tragedi berulang.

Kekerasan yang kerap dikedepankan dalam penanganan gerombolan gajah yang masuk kawasan rambahan masyarakat untuk pemukiman dan ladang perkebunan, menjadi sesuatu yang menyayat hati bagi keberlangsungan hewan raksasa darat tersebut.

Lahan kawasan hutan yang menjadi habitat ideal gajah semakin hari semakin berkurang membuat konflik gajah semakin sering terjadi.

Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mencatat 70% habitat potensial gajah hilang akibat alih fungsi hutan, pembangunan, dan perburuan.

Namun, sebuah gerakan kolaboratif yang menggabungkan semangat tulus, inovasi teknologi, dan dukungan korporasi kini menawarkan secercah harapan.

Rimba Satwa Foundation (RSF) dan Perusahaan Minyak dan Gas Bumi (Migas) PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) bergandengan tangan dan tidak menyerah pada konflik, melainkan memilih untuk merangkul sang raksasa gajah Sumatera.

Dua Ekor Gajah Jinak di Pusat Latihan Gajah (PLG) di Minas, di Kabupaten Siak, Provinsi Riau.

Kisah ini bermula dari kepedulian yang mendalam. Para pendiri RSF, yang mayoritas adalah pencinta alam tanpa latar belakang konservasi formal, merasa terpanggil setelah menemukan seekor gajah sakit parah. Rasa iba itu diubah menjadi tekad mendirikan yayasan pada tahun 2016.

“Kami belajar dari nol, berkoordinasi dengan BKSDA,” kenang Solfarina, Manager Education Program RSF. Semangat kepedulian yang besar inilah yang mendorong mereka bertransformasi dari penanam pisang di habitat gajah menjadi pelopor program konservasi multispesies.

Penyelamatan sang raksasa yang dilindungi ini bukan tanpa terobosan, inovasi cerdas yang timbul dari rasa kepedulian jadi semangat pembawa perubahan dan perbaikan.

Dalam konflik yang terjadi antara manusia dan gajah, utamanya terjadi ketika gajah melintasi desa dan memakan hasil kebun masyarakat, memicu kerugian dan bahkan aksi balas dendam. Untuk mengatasi ini, RSF meluncurkan Pilot Project Agroforestri untuk Mitigasi Konflik.

Idenya adalah membangun ‘pagar hidup’ yang cerdas. Setelah riset mendalam, tim RSF mengidentifikasi tanaman yang tidak disukai gajah namun memiliki nilai ekonomi tinggi bagi warga: jengkol, petai, durian, gaharu, dan matoa diidentifikasi sebagai tanaman yang tidak disukai gajah.

“Sederhananya, kita menanam tanaman yang tidak disukai gajah, sehingga ketika gajah lewat, ia tidak merusak tanaman, hanya lewat saja,” jelas Zul Husni Syukri, Funder RSF.

Zara Azizah, Analyst Social Perfomance Support, PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), Membudidayakan Bibit Pohon untuk Mendukung Program Agrofroresti.

Hingga kini, program ini telah merestorasi 225 hektare lahan di lima desa perlintasan gajah. Ini bukan sekadar penanaman, ini adalah rekayasa sosial dan ekonomi yang mengubah kerugian menjadi pendapatan, sekaligus memastikan gajah tetap aman melintas.

Selain agroforestri, RSF memanfaatkan teknologi mutakhir: GPS Collar sebanyak enam unit yang telah dipasang pada gajah di tiga kantong populasi yang mana ini didukung penuh perusahaan Migas negara PT PHR. Tujuannya bukan menjinakkan, melainkan memahami dan memitigasi.

“Kita mempelajari karakteristik gajah. Masing-masing gajah itu beda-beda, sama seperti manusia,” tambah Solfarina.

Data dari GPS Collar menjadi kunci Sistem Peringatan Dini (Early Warning). Ketika gajah mendekati pemukiman, posisinya segera diinformasikan melalui Whats App Group (WAG) bersama masyarakat dan BKSDA. 

Strategi ini sangat efektif, terbukti berhasil menangani 156 dari 176 interaksi negatif, memungkinkan masyarakat untuk melakukan blokade atau penggiringan secara terorganisir dan tanpa menyakiti satwa.

Kesuksesan program ini tak lepas dari peran vital PHR, yang bertindak sebagai mitra pelaksana utama melalui skema kolaborasi Pentahelix.

Sebagai mitra korporasi yang bertanggung jawab, PHR tidak hanya memberikan bantuan dana, tetapi memastikan seluruh rantai program berjalan optimal.

“Kami memberikan semuanya. Kegiatan agroforestri, pembinaan habitat, patroli, monitoring, dan GPS Collar—semuanya disupport oleh PHR,” ungkap Zara Azizah, Analyst Social Performance Support PHR.

Ini dilakukan tidak hanya untuk menjaga operasional, tetapi kepedulian mendalam menjaga pelestarian alam yang beriring bersama kemajuan perusahaan dan masyarakat.

Dukungan PHR meliputi biaya perawatan dan pupuk bagi program agroforestri, logistik untuk patroli yang mengharuskan tim RSF tinggal 7-10 hari di desa warga, hingga penyediaan blok mineral dan garam untuk pakan tambahan gajah di hutan. Ini adalah investasi yang melampaui kepatuhan, sebuah komitmen pada harmoni ekologis.

Setelah itu semua dilakukan, Bagian paling inspiratif dan krusial dari upaya ini adalah perubahan sikap masyarakat.

Program yang dijalankan pada awalnya, RSF disambut dingin, bahkan dicurigai. Warga yang bertahun-tahun merugi tak mudah percaya. Namun, kehadiran tim patroli yang secara sigap mendampingi dan keberhasilan sistem peringatan dini membuat masyarakat merasakan manfaat nyata.

“Masyarakat menjadi terbuka dan menyambut kita. Kerugian mulai diminimalisir. Akhirnya masyarakat menerima kita,” tutup Zul Husni Syukri.

Di tengah kabar suram penurunan populasi gajah Sumatra secara nasional dimana populasi gajah nasional menirun 69?lam 20 tahun terakhir, kantong-kantong populasi yang diintervensi RSF dan mitranya justru menunjukkan harapan, dengan penambahan sembilan anakan gajah baru dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

Kisah RSF, didukung oleh inovasi cerdas dan sinergi korporasi seperti PHR, menjadi cetak biru inspiratif. 

Dari kolaborasi ini jadi contoh serta pedoman bahwa manusia dan satwa liar tidak harus hidup dalam konflik, tetapi dapat berbagi ruang melalui empati, strategi, dan teknologi. Mereka membuktikan bahwa memeluk sang raksasa adalah cara terbaik untuk menyelamatkan masa depan bersama di rimba Sumatra. (Arpriyal)

Editor : Herdi Pasai



Bagikan